TIMES NATUNA, JAKARTA – Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) merilis data terbaru yang memperlihatkan skala tantangan keamanan informasi di Indonesia sepanjang satu tahun terakhir. Dari periode 20 Oktober 2024 hingga 6 Desember 2025, sebanyak 1.890 konten hoaks berhasil diidentifikasi berkat patroli siber dan laporan masyarakat.
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menyampaikan laporan itu dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta. Ia menyebut setahun terakhir menjadi fase penting dalam peta pengawasan ruang digital Indonesia.
“Sejak 20 Oktober 2024 hingga 6 Desember 2025, penemuan isu hoaks mencapai 1.890 konten,” ungkap Meutya.
Namun temuan hoaks hanyalah bagian kecil dari gambaran umum. Berdasarkan keseluruhan aktivitas penindakan, Kemkomdigi telah menangani lebih dari 3.381.000 konten negatif yang meliputi perjudian, pornografi, penipuan, hingga konten lintas sektor yang dilaporkan oleh kepolisian maupun kementerian-lembaga lain.
Data Kemkomdigi mengungkap komposisi konten negatif sebagai berikut:
-
Perjudian online: ± 2,6 juta konten
-
Pornografi: ± 660 ribu konten
-
Penipuan digital: ± 30 ribu konten
-
Konten negatif lintas sektor: 13.932 konten
-
Terorisme dan radikalisme: 8.500 konten
-
Disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK): 3.977 konten
Di balik besarnya angka tersebut, Meutya menilai masih banyak konten berbahaya yang lolos dari deteksi karena masifnya lalu lintas informasi digital.
Dalam pemetaan kanal persebaran, Facebook tercatat sebagai platform dengan temuan konten negatif terbanyak, sejalan dengan jumlah penggunanya yang sangat besar di Indonesia. Temuan lainnya juga merata di sejumlah platform seperti X, Instagram, Threads, Telegram, YouTube, TikTok, hingga WhatsApp.
Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi, Alexander Sabar, menekankan bahwa strategi pengawasan tidak hanya bertumpu pada penindakan. Pemerintah, katanya, menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan kebebasan berekspresi masyarakat.
“Ruang sipil harus tetap terbuka. Intervensi negara tidak boleh menghambat partisipasi publik,” ujarnya.
Setiap tindakan takedown maupun pemblokiran, jelas Alexander, mengacu pada prinsip internasional mengenai moderasi konten, dilakukan secara transparan, dan disertai mekanisme keberatan melalui penyelenggara sistem elektronik (PSE).
Ia menjelaskan bahwa pengawasan ruang digital dijalankan secara kolaboratif setiap hari bersama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Polri, TNI, serta Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Dari sinergi itu, penentuan kategori pelanggaran dilakukan berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Setiap hari kami mengumpulkan data bersama, lalu menentukan apakah sebuah konten masuk kategori yang dilarang dalam UU ITE,” kata Alexander.
Data setahun terakhir menunjukkan bahwa ekosistem digital Indonesia berhadapan dengan tantangan multidimensi: tingginya peredaran hoaks, dominasi konten perjudian, serta dinamika pengawasan yang harus tetap sejalan dengan prinsip keterbukaan publik. Tantangan berikutnya bukan hanya pada kemampuan deteksi, tetapi juga pada edukasi publik untuk memutus rantai penyebaran konten berbahaya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kemkomdigi Ungkap 1.890 Temuan Hoaks, Facebook Jadi Episentrum Penyebaran
| Pewarta | : Imadudin Muhammad |
| Editor | : Imadudin Muhammad |